Sunday, August 05, 2007

DAN PADA SAAT ITU AKU MENANGIS...

Sepulang sekolah, aku hanya menemui om ku dari padang yang kebetulan sedang ada di rumah. Kakaku yang SMA (panggil aja abang) belum juga pulang. Jarang-jarang ia pulang lama. Dan kakaku yang paling besar (panggil aja Uda) kata om sedang dibawa ke salah satu rumah sakit swasta di bandung karena penyakit jantung yang ia derita kumat. Dan katanya, kakaku yang paling besar itu harus segera di operasi dan membutuhkan biaya yang lumayan besar. Karena di rumah sudah tak ada lagi masakan yang terhidang di meja makan, dengan dibantu sang om, aku pun memasak lauk pauk untuk kita makan. Akhirnya abang pulang juga.

Waktu telah menunjukan pukul 5.30 sore. Terdengar suara mobiol berhenti di depan rumah. Ternyata itu mobil papa. Dengan perlahan terlihat mama memapah uda untuk masuk ke rumah dan papa mengeluarkan tabung oksigen lalu di bawa masuk ke dalam rumah. Kulihat wajah pucat uda yang sepertinya nafasnya sesak. Dengan segera, akupun membantu mengeluarkan barang-barang yang ada di dalam mobil.

Kata mama, malem itu uda bakal dibawa langsung ke salah satu rumah sakit yang cukup terkenal di Jakarta lalu keesokannya bakal di operasi. Sedih melihat kondisi uda yang seperti itu. Abis magrib, aku bantuin mama nyiapin barang-barang yang bakal dibawa ke Jakarta, sedangkan papa dan abang menemani uda di kamarnya. Karena uda meminta dibuatkan mie rebus, aku pun memasakkan mie rebus yang sedikit hambar untuknya, lalu ku berikan padanya. Lagi-lagi kulihat ia hanya terbaring lemah dengan bantuan oksigen di kamarnya.

Mendengar uda bakal dibawa ke Jakarta, banyak temen-temen papa-mama yang dateng ke rumah untuk ngeliat kondisi uda. Dan yang asalnya uda susah senyum, untuk terakhir kalinya ia bercanda dengan tamu-tamu yang datang ke rumah. Sayang, pada saat itu aku tak dapat menyaksikannya.

Akhirnya, papa dan satu temannya pergi juga ke Jakarta untuk menemani uda di rumah sakit. Teman-temanpapa dan mama pun mulai pulang. Dan aku pun pergi ke kamar karena hari sudah sangat larut.
Paginya, aku merasa ada hal yang kurang, yaitu aku tak melihat wajah uda yang biasanya kutemui setiap paginya. Ya, aku hanya bisa mendoakan agar ia baik-baik saja di Jakarta. Dan aku pun pergi ke sekolah untuk mengikuti ulangan umum hari terakhir. Sebelum sampai di sekolah, aku sempat berpikir di dalam angkutan umum, “gimana kalo uda udah ga ada?? Di depan rumah ada bendera kuning, banyak orang yang ngelayat… STOP NDAH!!” sepintas aku membendung air mata, tapi aku tak bisa menangis.


Sepulang sekolah dan setibanya aku di rumah, ku temui banyak sekali rekan-rekan kerja papa-mama, dan teman-teman kuliah uda. “knapa yah?? Ko banyak orang??” temen mama akhirnya ngasih tau kalo uda udah meninggal. Ga percaya… DAN SANGAT TIDAK PERCAYA. Kutemui mama yang terus saja menangis di damping oleh kawan baiknya. Air mataku tak keluar. Aku tidak menangis.

Kuganti pakaianku di kamarku. Aku berkurung diri, dan menangis… menangis sambil menyesalkan perbuatanku yang telah aku lakukan selama ini padanya. Aku menyesal dua hari sebelum ia pergi, aku tidak sempat memijit punggungnya yang sering terasa pegal. Aku menyesal karena tak sempat mengantarnya ke Jakarta. Aku menyesal karena aku telah banyak merepotkannya dan menyusahkannya pada saat ia sakit. AKU MENYESAL!!!

Pukul 2.30 siang menjelang sore, mobil ambulans terdengar nyaring di telinga. Aku yang saat itu ada di dalam kamar mama sendirian di panggil oleh teman mama untuk keluar kamar dan mendoakan uda sebelum ia di solatkan di mesjid deket rumah. Kulihat rumahku telah penuh dengan kerabat-kerabat yang merasa kehilangan. Mulai dari ruang tamu depan, sampai ruangan belakang. Dan kulihat pula mama terus menangis sambil memegang uda yang sudah terbungkus oleh kain kafan. Di pimpin oleh teman dekat papa, kita pun membacakan doa untuknya. Mama terus menangis, anehnya aku tak bisa mengeluarkan air mata.

Setelah uda di solati, kami semua membawanya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Karena seminggu sebelum uda meninggal ia sempat bicara bahwa aku lebih pantas memakai baju berwarna hijau dengan bawahan jins, pakaian itu pun aku gunakan. Di makam, aku, mama, papa, dan abang berdiri paling depan. Tiba-tiba terdengar suara lelaki yang menyapa papa. “oom, heri inget waktu sekamar sama dayat di rumah yang dulu..” ternyata itu adalah sepupuku yang kini telah sukses di Jakarta dan sekarang sedang mengambil study kimia di inggris. Air mataku pun akhirnya menetes…

Malamnya papa cerita pada kerabat-kerabat tentang sebelum uda meninggal. Sebelum sampai di rumah sakit, uda ngerasa lapar. Dilihat papa took-toko makanan dan roti ga ada yang buka, semuanya tutup. Yang ada hanyalah toko yang menjual buah-buahan. Papa menawarkan apel pada uda, tetapi uda menolaknya dengan alasan, “pa, kata mama apel itu ngandung gas, jadi dayat ga boleh makan apel dulu.” Lalu papa menawarkan anggur, tapi ia menolaknya, “kata mama anggur ngandung alkohol..” dan karena yang tersisa tinggal apel dan anggur, papa membeli anggur sedikit. Untungnya di dekat sana ada kios yang masih buka dan papa membeli roti.

Setibanya di rumah sakit, uda langsung dibawa ke UGD. Sayang, dokter yang akan menangani uda belum ada karena saat itu masih subuh. Bolak-balik uda buang air besar di kamar mandi. Paginya sekitar jam 7 kurang, suster rumah sakit tersebut menyuruh uda untuk tidur berbaring di kasur. Uda menolak, dan begitu pula papa. Suster tak mendengarkan apa kata papa. Karena suster terus memaksa agar uda tidur berbaring di kasur, papa tak bisa berbuat apa-apa lagi. Tak lama kemudian, terdengar suara rintihan pelan, “aduh..” seketika itu pula tubuh uda membiru. Papa panik. Dengan cepat papa panggil suster. Akhirnya dokter datang. Dokter menyuruh papa agar menunggu di luar. Dengan bantuan alat pemacu jantung, dokter terus berusaha monolong uda.
Dengan wajah yang menunduk, dokter keluardari UGD dan member kabar buruk pada papa,
“maaf pak, saya sudah berusaha sejauh mungkin untuk menolong anak bapa, tapi tuhan berkata lain.. saya benar-benar meminta maaf..”
Hari jum’at jam 7.40… mungkin itu memang kodratnya. Dan dokter pun mengatakan bahwa apabila uda sembuh, ia tidak akan sembuh total, dan syaraf-syaraf di otaknya akan terganggu dan itu dapat menyebabkan uda akan memiliki ketergantungan pada keluarga.
Mungkin uda lebih memilih pergi daripada harus merepotkan keluarganya…


Aku Cuma pengen bilang sama uda, uda ga bakal mungkin bisa kita (aku, keluarga, sobat, rekan-rekan, dan semua yang mengenal uda) lupain, dan uda bakal terukir dalam hati kita semua. Kami sangat merasa kehilangan senyummu, tawamu, candamu, dan seluruh tingkahmu yang mungkin kadang membuat kita kesal, tapi dari tingkahmu yang menyebalkan ituklah kita sangat merindukanmu..
Maafin ademu yang satu ini…

1 comment:

Unknown said...

hmm.. jadi keingetan almh. nenek ajeng...

ajeng juga dulu nggak sempet nemenin di saat2 terakhirnya....